Seingat saya, laron (rayap) itu besar, gemuk dan keluar dari dalam tanah pada waktu musim hujan. Tidak demikian dengan yang saya lihat selama hampir setahun ini. Laron-laron itu putih, kecil, dan keluar dari kusen pintu dua hari sekali, setiap jam 22.00 WITA, dan jelas tidak ada hujan. Tadi pagi akhirnya suami melubangi kayu-kayu kusen pintu itu (yang ternyata memang sudah kosong dalamnya), supaya saya bisa menuangkan minyak tanah, berharap rayap yang tersisa mati. Suami bilang, ini bukan rayap biasa. Rayap yang keluar dari tanah bentuknya bulat. Sementara yang menghuni pintu rumah kami bentuknya agak panjang. Anehnya lagi, sudah setahun kami panen laron, tidak ada satupun dari tetangga saya yang mengalami hal serupa. Padahal usia rumah, jenis bahan, jelas sama. Soal genteng bocor pun jelas sama, karena tiap musim hujan tetangga antri pinjam tangga untuk perbaiki genteng. Perumahan kami berdiri di atas bukit kapur. Untungnya rayap-rayap itu baik hati, tidak menyerang buku-buku kami yang bertumpuk di tiap sudut. Berbeda dengan rumah orang tua saya yang terpisah 150 km sebelah utara rumah kami. Saya tidak pernah melihat laron putih berterbangan di rumah ortu. Tapi kalau pada malam hari ada suara gemerisik seperti gerimis di salah satu sudut rumah, kami segera tahu ada rayap menyerang! Dan seingat saya, tetangga kiri-kanan pun tidak ada yang mengalami hal serupa. Aneh ya. Sepertinya kami kena kutuk Ratu Rayap. Karena waktu kami masih kecil, saat hujan pertama turun, kami selalu pesta pepes laron…. (Surat ini diterbitkan di Tabloid Rumah edisi 119, Rubrik Serambi)